HUBUNGAN ANTARA KEBEBASAN, TANGGUNG JAWAB, HATI NURANI DENGAN AKHLAK

A.     Kebebasan
Kebebasan secara bahasa beerasal dari kata bebas, menurut kamus besar bahasa Indonesia bebas berati lepas sama sekali, merdeka. Secara istilah kebebasan yaitu sebagaimana di kemukakan oleh Ahmad Charris Zubair adalah terjadi apabila kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak tidak dibatasi oleh suatu paksaan dari atau keterikatan kepada orang lain. Paham ini disebut bebas negatif, karena hanya dikatakan bebas dari apa, tetapi tidak ditentukan batas untuk apa. Seseorang disebut bebas apabila :
1.      Dapat menentukan sendiri tujuan-tujuannya dan apa yang dilakukannya.
2.      Dapat memilih antara kemungkinan-kemungkinan yang tersedia baginya.
3.      Tidak dipaksa atau terikat untuk membuat sesuatu yang tidak akan di pilihnya sendiri ataupun di cegah dari berbuat apa yang di pilihnya sendiri oleh kehendak orang lain, Negara atau kekuasaan apapun.[1]
Selain itu kebebasan itu meliputi segala macam kegiatan manusia, yaitu kegiatan yang disadari, disengaja dan dilakukan demi suatu tujuan yang selanjutnya disebut tindakan. Namun bersamaan dengan itu manusia juga memiliki keterbatasan atau dipaksa meneriam apa adanya. Misalnya keterbatasan dalam kesukuan kita, keterbatasan asal keturunan kita, bentuk tubuh kita dan sebagainya. Namun, keterbatasan yang demikian itu sifatnya fisik, dan tidak membatasi kebebasan yang sifatnya rohaniah. Dengan demikian keterbatasan-keterbatasan tersebut tidak mengurangi kebebasan kita.
            Dilihat dari segi sifatnya, kebebasan itu dapat dibagi menjadi tiga. Pertama kebebasan jasmaniah, yaitu kebebasan dalam menggerakkan dan mempergunakan anggota badan yang kita miliki. Dan jika dijumpai adanya batas-batas jangkauan yang dapat dilakuan oleh anggota badan kita, hal itu tidak mengurangi kebebasan, melainkan menentukan sifat dari kebebasan itu. Misalnya manusia berjenis kelamin dan berkumis, tetapi tidak dapat terbang, semua itu tidak disebut melanggar kebebasan jasmaniah kita, karena kemampuan terbang berada diluar kapasitas kotdrati yang dimiliki manusia. Yang  dapat dikatakan melanggar kebebasan jasmaniah hanyalah paksaan, yaitu pembatasan oleh seseorang atau lembaga masyarakat berdasarkan kekuatan jasmaniah yang ada padanya.
            Kedua, kebebasan kehendak (rohaniah), yaitu kebebasan untuk menghendaki sesuatu. Jangkauan kebebasan kehendak adalah sejauh jangkauan kemungkinan untuk berfikir, karena manusia dapat memikirkan apa saja dan dapat menghendaki apa saja. Kebebasan kehendak berbeda dengan kebebasan jasmaniah. Kebebasan kehendak tidak dapat secara langsung dibatasi dari luar. Orang tidak dapat dipaksakan menghendaki sesuatu, sekalipun jasmaniahnya dikurung.
            Ketiga, kebebasan moral yang dalam arti luas berarti tidak adanya macam-macam ancaman, tekanan, larangan dan lain desakan yang tidak sampai berupa paksaan fisik. Dan dalam arti sempit berarti tidak adanya kewajiban, yaitu kebebasan berbuat apabila terdapat kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak.
            Kebebasan pada tahap selanjutnya mengandung kemampuan khusus manusiawi untuk bertindak, yaitu dengan menentukan sendiri apa yang mau dibuat berhadapan dengan macam-macam unsur. Manusia bebas berarti manusia yang dapat menentukan sendiri tindakannya.
            Selanjutnya manusia dalam bertindak dipengaruhi oleh lingkungan luar, tetapi dapat juga mengambil sikap dan menentukan dirinya sendiri. Manusia tidak begitu saja dicetak oleh dunia luar dan dorongan-dorongannya didalam, melainkan ia membuat dirinya sendiri berhadapan dengan unsur-unsur tersebut. Dengan demikian kebasan ternyata merupakan tanda dan ungkapan maratabat manusia, sebagai satu-satunya makhluk yang tidak hanya ditentukan dan digerakkan, melainkan yang dapat menentukan dunianya dan dirinya sendiri. Apa saja yang dilakukan tidak atas kesadaran dan keputusannya sendiri dianggap hal yang tidak wajar.[2]
            Paham adanya kebebasan pada manusia ini sejalan dengan isyarat yang diberikan al-Qur’an. Perhatikan beberapa surat di bawah ini :
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ ۖ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ ۚ 
Artinya:
“Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir”(QS. Al-Kahfi: 29)
اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ ۖ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Artinya:
“Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. Fushilat: 40)
Ayat-ayat tersebut dengan jelas memberi peluang kepada manusia untuk secara bebas menentukan tindakannya berdasarkan kemauannya sendiri.[3]
B.     Tanggung Jawab
           Kata tanggung jawab berakitan dengan kata “jawab”. Dengan demikian, bertanggung jawab berarti dapat menjawab. Orang yang bertanggung jawab adalah orang yang dapat diminta penjelasan tentang tingkah lakunya, bukan saja ia bisa menjawab tapi juga tidak mengelak. Jawaban tersebut diberikan kepada dirinya sendiri, kepada masyarakat luas dan Tuhan. Kata tanggung jawab juga mengandung makna penyebab, yaitu mempertanggung jawabkan sesuatu yang disebabkan olehnya. Namun, untuk bertanggung jawab, tidaklah cukup seseorang menjadi penyebab, tapi perlu juga menjadi penyebab bebas.
           Menurut K. Bertens, tanggung jawab terkait dengan kebebasan, karena kebebasan adalah “syarat mutlak untuk bertanggung jawab. Bila tidak ada kebebasan, tidak ada pula tanggung jawab”. Konsekuensi dari kebebasan itu adalah pertanggung jawabannya terhadap kebebasan dari pilihan yang di tempuhnya.
           Tanggung jawab bisa bersifat langsung dan bersifat tidak langsung. Dikatakan bersifat langsung, bila si pelaku sendiri bertanggung jawab atas perbuatannya, sedangkan di katakan tidak langsung, bila di lakukan oleh suruhan atau perantara lainnya. Pertanggung jawaban langsung misalnya  setiap manusia yang berada di muka bumi, dimintai pertanggung jawabannya, sebagai konsekuensi logis dari perbuatan yang telah dilakukannya.[4]
           Apabila diperahatikan tanggung jawab ditegaskan adalah untuk mempertahankan keadilan, keamanan dan kemakmuran. Maka kemampuan seseorang bertanggung jawab dalam segala tindakan merupakan salah satu diantara kelebihan manusia. Apabila pertanggung jawaban di dalam kehidupan tidak diutamakan atau tidak diperdulikan maka harga dirinya pun akan jatuh. Manusia adalah makhluk mukallaf dengan maksud bahwa manusia diberikan beban atau tugas oleh Allah dalam berbagi bidang yang akan dimintai pula pertanggung jawabannya. Kerawanan pada manusia sekarang adalah kegelisahan kegoncangan dan kedzaliman karena sikap banyak yang meremehkan tanggugjawab yang sebenarnya.[5]
           Macam-macam tanggung jawab diantaranya :
1.      Tanggung jawab agama
2.      Tanggung jawab sosial
3.      Tanggung jawab akhlak (moral)
4.      Tanggung jawab hati nurani
5.      Tanggung jawab amal perbuatan.
C.     Hati Nurani
            Suara hati nurani berarti suara hati yang seakan ada cahaya dari luar yang menerangi budi dan hati manusia. Di dalam kamus besar Bahasa Indonesia dikatakan bahwa nurai berasal dari kata “terang, bercahaya”. Sedangkan hati nurani adalah “perasaan hati murni yang sedalam-dalamnya”. Menurut Ahmad Amin suara hati nurani adalah suatu kekuatan yang memperingatkan perbuatan buruk, dan usaha mencegah dari perbuatan itu, bila ia tetap dalam perbuatannya dan mulai berbuat, ia merasa tidak senang waktu mengerjakan karena tidak tunduk kepada kekuatan itu.[6] Sementara itu K. Bertens mengatakan bahwa hati nurani adalah “penghayatan tentang baik atau buruk, yang berhubungan dengan tingkah laku konkret manusia, yang memerintahkan atau melarang untuk melakukan sesuatu”.[7]
            Kondisi perasaan yang  lain bahwa kekuatan tersebut memerintahkan agar melakukan kewajiban. Kemudian mendorong untuk melangsungkan perbuatannya. Dan setelah selesai, dia merasakan lapang dada dan gembira.
            Gambaran keadaan jiwa diatas menunjukan bahwa manusia di dalamnya ada “HATI NURANI”. Ia merupakan kekuatan yang mendahului, mengiringi dan menyusul pada perbuatan. Adapun fungsi kekuatan hati nurani dapat disebutkan bahwa:
1.   Apabila kekuatan mengiringi suatu perbuatan, akan memberi petunjuk dan menakuti kemaksiatan.
2.   Apabila kekuatan mengiringi suatu perbuatan, akan mendorongnya untuk menyempurnakan perbuatan yang baik dalam menahan dari perbuatan yang buruk.
3.   Apabila kekuatan menyusul suatu perbuatan, akan merasa gembira dan senang apabila melakukan perbuatan yang ditaati namun akan merasa sakit dan pedih waktu melanggar atau melakukan perbuatan jelek.[8]

Hati nurani (berdasarkan latar belakang kejadian) dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu :
1.   Hati nurani retrospektif, yang memberikan penilaian tentang perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan  atau telah berlangsung dimasa lalu. Seakan menoleh kebelakang dan menilai perbuatan-perbuatan yang telah dilaluinya tersebut.
2.   Hati nurani prospektif, yang melihat dan menilai perbuatan yang akan dilakukan pada masa yang akan datang.[9]
Melalui hati nurani diharapkan berlangsung transformasi diri dan sosial, sebuah gerakan untuk menyatukannya orientasi hidup yang semula berkeping-keping lalu menjadi utuh karena diikat oleh kesadaran. Dampaknya akan terbangun relasi sosial yang konstruktif dengan jalan mengendalikan tutur kata dan perilaku.[10]


KESIMPULAN
            Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa suatu perbuata dapat dikatakan perbuatan berakhlak apabial dilakukan dalam keadaan tanpa paksaan dan dalam kemauan diri sendiri, ikhlas dan tanpa dibuat-buat. Untuk bisa seperti itu maka seseorang harus dalam keadaan yang beabas atau memiliki kebebasan. Dengan kata lain dapat di simpulkan perbuatan yang bernilai akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dalam keadaan bebas. Disinilah letak hubungan antra akhlak dan kebebasan.
            Selanjutnya perbuatan yang dilakukan atas kemauan diri sendiri dalam keadaan bebas tanpa paksaan tidak semata-mata berarti bisa melakukan apapun yang dikehendaki. Selalu ada konsekuensi dari perbuatan-perbuatan yang diambil dan konsekuensi tersebut harus dipertanggung jawabkan dari orang yang melakukannya. Itulah letak hubungan antara akhlak, kebebasan dan tanggung jawab.
            Sementara itu dalam melakukan perbuatan yang bernilai akhlak dalam keadaaan bebas dan dapat dipertanggung jawabkan, selalu ada peran hati nurani yang bertugas menunjukan dimana perbuatan yang benar dan memperingatkan jika perbuatan tersebut salah. Itulah letak hubungan antara kebebasan, tanggungjawab, hati nurani dan akhlak.
           
           


DAFTAR REFERENSI
Amin, Ahmad. Etika (Ilmu Akhlak). Jakarta: Bulan Binyang, 1975.
AR, Zahruddin. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Charris Zubair, Ahmad.  Kuliah Etika. Jakatra: Rajawali Pers, 1990.
H.A Mustofa. Akhlak-Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 1997.
K Bertens, Etika. Jaktarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001.
http://kuliah85.blogspot.co.id/2009/10/kebebasan-tanggung-jawab-dan-hati.html




[1] Ahmad Charris Zubair,  Kuliah Etika, (Jakatra: Rajawali Pers, 1990), 40.
[2]Ibid., 43.
[3] http://kuliah85.blogspot.co.id/2009/10/kebebasan-tanggung-jawab-dan-hati.html
[4]Zahruddin AR, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), 131.
[5] H.A  Mustofa, Akhlak-Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), 117.
[6] Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 68.
[7] K Bertens, Etika, (Jaktarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), 52.
[8]H.A  Mustofa, Akhlak-Tasawuf, 118.
[9]Zahruddin AR, Pengantar Studi Akhlak, 105.
[10]Ibid., 106.

CONVERSATION

0 komentar:

Posting Komentar

Translate

Back
to top